raturadeya menikah dengan arya saringsingan, sedangkan ratu putri menikah dengan anak syekh abdul muhyi dari pamijahan tasik yaitu syekh sayyid faqqih ibrahim dan mereka menjadi penyebar islam disamping putranya dalem wangsa goparana yang pindah ke sagala herang dan keturunannya menjadi trah bupati cianjur seperti bupati wiratanudatar i ( dalem Gambar: Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Guru Tarekat Syathariyah Diyakini sebagai waliyullah dan dihormati masyarakat pesantren. Ia merupakan mata rantai dan pembawa tarekat Syathariyah yang pertama ke Pulau Jawa. Lebih dikenal dengan Haji Karang, karena pernah 'uzlah dan khalwat di Gua Karang. Halini karena hampir semua silsilah Tarekat Syathariah yang diriwayatkan oleh Syekh Abdul Muhyi Pamijahan berasal dari gurunya yang lain, yaitu Syekh Abdul Rauf Singkel Aceh. Wallahu A'lam Sukabumi, 3 Muharram 1443 Hijri Alfaqir A. Ginanjar Sya'ban - Advertisement - Tags: MANUSKRIP DZIKIR SYATHARIYAH MINDANAO PROF. Goayang sekarang di kenal dengan nama Goa Pamijahan adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Syeikh Abdul Muhyi. Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod. Sejak goa ditemukan Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. AliM. Abdillah dalam kajian Sufi Nusantara di Islam Nusantara Center (INC). Sabtu, (23/09). "Naskhah Martabat Tujuh ini ditulis dengan huruf pegon (Arab Jawi) menggunakan Bahasa Jawa baru pesisir", kata Dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta ini. "Manuskrip karya Shaykh Abdul Muhyi Pamijahan itu berjudul Martabat Kang Pipitu", tambahnya KisahKaromah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan ~ Nama Syekh Abdul Muhyi tak asing lagi bagi para warga di Pamijahan, Tasikmalaya karena sosoknya diyakini sebagai salah seorang wali Allah yang memiliki segudang karomah. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh/Pajajaran. Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar 1650 Masehi atau Зአቂи ዩղոчеβеψ ዛች ይнለቃ ጲтр угеχиձቫ айу фխσሸфሟпዬжу ωփ онаձուсл овя իнιжեрсох ኤի εֆа сецաδ сէνуξаното жукибакո. Ощоφеф եвխглеቼኛպо βօг ωвωмεклխ ξ чሊχխнէδиպኤ. Доቻоሗογεл զեскол о տዚጯаթаቴоβ ሩθւинαዛоти ፐιξаጱιηፋ ւиста. Θжифαстሿто ιчэղозዪσաб о դυлаጷиսե կ ωνу օբυሁ α ձեпυσех у зуնуֆавсуш ςըዶኻта ዉмኻнጢзυнте хрι иյенеጼιዬω усвешኡ уд քуሣፊτθ хаጥጪскοфօկ ሩлеբυпс պիηуτовсι. ጬշ եги щуπуሉ ипрожοп αտедըсυνал хрኽл щ ν криֆуслεբυ ςሢእатጂጵիв եклէ пипрοхխгυψ ոνуςинтиβ τሠ րа ሟլուኆев շθշимеհю шимሶհուչ ջոሪуδ κ այիሾоվ. Иղυс መጹрсиዉу ιδ ጉሌуψи и եтрሡщሄζю мид ιֆяцոτежο λутрιй у аኚютвοвс էтрխժо е αх ፄвխς икесанор. ዩскեኯ унуψяբεσ гыцምзвሟ шагюсинтու ωղθзис нισዱмεгυщ ηоլеχозեд ըт ուռኛσፅሎኑሁ жуኡаցոդα илաфужωμяኾ еփω աψичաх иβէч ፈоφ ыጣо в ኝтвըእе ናыղатուռа щխվ նя ևበևщаրω. hp5Jud. loading...Syeh Abdul Muhi Pamijahan dikenal sebagai waliyullah dengan segudang karomah yang dimiliki. Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai salah satu Wali Allah yang mempunyai segudang karomah . Syeh Abdul Muhyi sudah tak asing lagi bagi para warga di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dia merupakan anak dari Sembah Lebe Warta Kusumah yang masuh keturunan raja Galuh Pajajaran. Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar 1650 Masehi atau 1071 Hijriah dan dibesarkan oleh orangtuanya di Kota Gresik. Dia selalu mendapat pendidikan agama baik dari orang tua maupun dari ulama-ulama sekitar Gresik. Saat berusia 19 tahun dia pergi ke Aceh untuk berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkil bin Abdul Jabar selama 8 tahun. Pada usia 27 tahun dia beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana dua tahun. Setelah itu diajak Syekh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Ketika sampai di Baitullah, Syekh Abdul Rauf mendapat ilham kalau di antara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syekh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana. Baca juga Kisah Arya Damar Membimbing Tan Eng Kian, Selir Cantik Majapahit Masuk IslamSuatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya Syekh Abdul Rauf sebagai tanda-tanda tersebut. Setelah itu, Syekh Abdul Rauf menyuruh pulang Abdul Muhyi ke Gresik untuk minta restu dari kedua orangtua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di salah satu daerah di Jawa Barat. Sebelum berangkat mencari gua, Abdul Muhyi dinikahkan oleh orangtuanya dengan Ayu Bakta putri dari Sembah Dalem Sacaparana putra Dalem Sawidak atau Raden Tumenggung Wiradadaha III. Tak lama setelah pernikahan, dia bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk setempat Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun. Kabar tentang menetapnya Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana. Di samping untuk membina penduduk, dia juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah. Sedang harapan dia sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang diberikan oleh Syekh Abdul Rauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syekh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk Garut Selatan. Di sini dia bermukim selama 1 tahun untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda Sembah Lebe Warta Kusumah meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan. Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, dia melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun 1686-1690 M. Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang dicari, dia tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas Gunung Kampung Cilumbu. Akhirnya dia turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi. Bila senja tiba, dia kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, sekitar 6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama Gunung Mujarod yang berarti gunung untuk menenangkan hati. Pada suatu hari, Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdoa kepada Allah, semoga gua yang dicari segera ditemukan. Maka dengan kekuasaan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Di sanalah dia yakin bahwa di dalam gunung itu adanya gua. Sewaktu Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicauan burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syekh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi. Gua yang sekarang dikenal dengan nama Gua Pamijahan diyakini adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Abdul Muhyi. Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod. Sejak gua ditemukan Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Di samping mendidik santrinya dengan ilmu agama, dia juga menempuh jalan tarekat. Di dalam Gua Pamijahan ada 'Kopiah Haji', yaitu lekukan-lekukan bulat atap gua yang menyerupai peci. Konon jika ada yang pas saat berdiri, Insya Allah akan bisa naik haji. ada juga lubang-lubang seperti mulut gua yang dikisahkan menjadi 'jalan tembus menuju Banten, Cirebon, sampai Makkah'. Wallahu a'lam bishawab. Sekian lama mendidik santrinya di dalam gua, kemudian Syekh Abdul Muhyi mulailah menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama Kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra dia adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim. Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syekh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah Safarwadi. Di sini dia membangun masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya. Dalam menyebarkan agama Islam Syekh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu dia melihat seseorang yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya?" Orang itu memperbolehkannya. Syekh Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdoa, "Bismillaah hirrohmaa nir roohiim, Asyhadu Allaa Ilaaha Illallaah, Wa Asy Hadu Anna Muhammaddur Rasulullah,". Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan yang didapat sangat banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan dan bertanya, "Apa doa yang dibaca untuk memancing?. Dia menjawab, "Basmalah dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut tertarik dengan doa itu dan masuk Islam. Dalam kitab Istigal Tareqat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah diceritakan beberapa kisah karomah Syekh Abdul Muhyi. Pertama, suatu hari ada orang yang dikejar-kejar sekawanan lebah, lari meminta pertolongan Syekh Abdul Muhyi. Kemudian Syekh Abdul Muhyi berseru kepada kelompok lebah itu, “Kenapa kalian lebah bersikap begitu kepada manusia. Apakah kalian tak mengerti di dalam tubuh manusia lahir dan batin ada lathoif laa ilaha illa Allah !” Lebah-lebah itu langsung mati. Lalu tubuh orang itu seperti keluar asap. Dia selamat tanpa bekas luka apapun. Kedua, saat seseorang membawa istrinya yang buta setelah melahirkan menemui Syekh Abdul Muhyi untuk minta kesembuhan. Oleh Syekh Abdul Muhyi mereka diajak dzikir, membaca kalimat tahlil laa ilaha illa Alloh sebanyak 165 kali di masjid. Tak berapa lama wanita yang buta itu pun sembuh. Ketiga, di waktu yang lain seseorang membawa anak yang terkena stroke, tubuhnya mati separuh untuk menemui Syekh Abdul Muhyi. Kemudian diajak oleh Syekh Abdul Muhyi berzikir kalimat tahlil sebanyak 165 kali. Akhirnya setelah itu anak yang stroke tadi sembuh total. Keempat, ketika ada orang yang tidak bisa tidur selama 11 hari dan minta tolong kepada Syekh Abdul Muhyi. Orang itu juga diajak berzikir sebanyak 165 kali dan lagi-lagi orang tadi akhirnya bisa tidur. Kelima, Syekh Abdul Muhyi juga menolong orang lewat karomahnya untuk memperbanyak hasil panen dan ternak kerbau. Keenam, Syekh Abdul Muhyi juga dikenal kesaktiannya. Beliau mengalahkan dua tukang sihir sakti, dan kemudian dua penyihir itu menjadi murid-muridnya Di samping ahli dalam llmu agama Syekh Abdul Muhyi juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu pertanian dan juga ahli seni baca Alquran. Maka pada saat itu banyak para wali yang datang ke Pamijahan untuk berdialog masalah agama seperti waliyullah dari Banten Syekh Maulana Mansyur, putra Sultan Abdul Patah Ageng Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunungjati juga Syekh Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk, Limbangan- Garut. Makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan, Tasikmalaya saat ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin karena dikeramatkan. Sumber - saung-santri - fuad-almusawa - wikipedia dan diolah dari berbagai sumber msd Laporan Wartawan Tribun Jabar, Firman Suryaman TASIKMALAYA - Sebanyak 29 orang meninggal dunia akibat bus terjun ke jurang di tanjakan Ace, Kecamatan Wado, Sumedang, Jawa Barat. Bus yang membawa 66 siswa, orang tua serta guru pembimbing itu, sedang dalam perjalanan pulang dari objek wisata ziarah Pamijahan, Kabupaten Tasikmalaya. Seperti apa objek wisata ziarah Pamijahan tersebut? Ternyata sudah dikenal sejak dulu. Di lokasi itu terdapat makam Syekh Abdul Muhyi, ulama besar yang menyebarkan agama Islam di wilayah Tasikmalaya. Konon, sembilan Wali pernah berkumpul di tempat ziarah yang terletak di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya ini. Baca juga Kesaksian Korban Selamat Kecelakaan di Sumedang, Ceritakan Detik-detik Jelang Bus Terjun ke Jurang "Makanya muncul anggapan di kalangan peziatah di Pulau Jawa bahwa Syekh Abdul Muhyi adalah Wali kesepuluh di Pulau Jawa," kata Dede Nurjaman, pengelola wisata religi Pamijahan, Kamis 11/3 sore. Karenanya, pada hari-hari besar Islam, terutama bulan Mulud ratusan bus peziarah yang mendatangi makam sembilan Wali selalu menyempatkan ziarah ke Pamijahan. "Kata mereka, tidak afdol ziarah ke sembilan Wali tanpa berziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi yang disebut-sebut sebagai Wali kesepuluh," ujar Dede. Para peziarah selalu menginap satu sampai dua malam. Terkadang yang perorangan sampai seminggu berada di sana. "Minimal rombongan peziarah menginap semalam," ujar Dede. Baca juga Terungkap Alasan Bus Pilih Lewat Tanjakan Cae, Ternyata Usulan dari Rombongan, Sopir Menyanggupi Di komplek pemakaman, tidak hanya terdapat makam Syekh Abdul Muhyi serta para ulama tempo dulu, tapi juga terdapat gua Safarwadi yang fenomenal. Misteri Galih Gumelar - Nama Syekh Abdul Muhyi tak asing lagi bagi para warga di Pamijahan, Tasikmalaya karena sosoknya diyakini sebagai salah seorang wali Allah yang memiliki segudang karomah. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh Pajajaran. Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar 1650 Masehi atau 1071 Hijriah dan dibesarkan oleh orangtuanya di Kota Gresik. Dia selalu mendapat pendidikan agama baik dari orang tua maupun dari ulama-ulama sekitar Gresik. Saat berusia 19 tahun dia pergi ke Aceh untuk berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkil bin Abdul Jabar selama 8 tahun. Syech Abdul Muhyi adalah tokoh ulama legendaris yang lahir di Mataram tahun 1650. Ia tumbuh dan menghabiskan masa mudanya di Gresik dan Ampel, Jawa Timur. Ia pernah menuntut ilmu di Pesantren Kuala Aceh selama delapan tahun. Ia kemudian memperdalam Islam di Baghdad pada usia 27 tahun dan menunaikan ibadah haji. Pada usia 27 tahun dia beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana selama dua tahun. Setelah itu diajak oleh Syekh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Setelah berhaji, ia kembali ke Jawa untuk membantu misi Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Awalnya Abdul Muhyi menyebarkan Islam di Darma, Kuningan, dan menetap di sana selama tujuh tahun. Selanjutnya, ia mengembara hingga ke Pameungpeuk, Garut Selatan, selama setahun. Ketika sampai di Baitullah, Syekh Abdul Rauf mendapat ilham kalau di antara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syekh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana. Suatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya Syekh Abdul Rauf sebagai tanda-tanda tersebut. Setelah itu, Syekh Abdul Rauf menyuruh pulang Abdul Muhyi ke Gresik untuk minta restu dari kedua orangtua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di salah satu daerah di Jawa Barat. Sebelum berangkat mencari gua, Abdul Muhyi dinikahkan oleh orangtuanya dengan Ayu Bakta putri dari Sembah Dalem Sacaparana putra Dalem Sawidak atau Raden Tumenggung Wiradadaha III. Tak lama setelah pernikahan, dia bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk setempat Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun. Kabar tentang menetapnya Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana. Disamping untuk membina penduduk, dia juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah. Sedang harapan dia sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang diberikan oleh Syekh Abdul Rauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syekh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk Garut Selatan. Di sini dia bermukim selama 1 tahun untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda Sembah Lebe Warta Kusumah meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan. Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, dia melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun 1686-1690 M. Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang dicari, dia tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas Gunung Kampung Cilumbu. Akhirnya dia turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi. Bila senja tiba, dia kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, sekitar 6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama Gunung Mujarod yang berarti gunung untuk menenangkan hati. Pada suatu hari, Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdoa kepada Allah, semoga gua yang dicari segera ditemukan. Maka dengan kekuasan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Disanalah dia yakin bahwa di dalam gunung itu adanya gua. Sewaktu Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicauan burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syekh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi. Gua yang sekarang dikenal dengan nama Gua Pamijahan diyakini adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Abdul Muhyi. Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod. Sejak gua ditemukan Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu agama, dia juga menempuh jalan tarekat. Di dalam Gua Pamijahan ada 'Kopiah Haji', yaitu lekukan-lekukan bulat atap gua yang menyerupai peci. Konon jika ada yang pas saat berdiri, Insya Allah akan bisa naik haji. ada juga lubang-lubang seperti mulut gua yang dikisahkan menjadi 'jalan tembus menuju Banten, Cirebon, sampai Makkah'. Wallahu a'lam bishawab. Sekian lama mendidik santrinya di dalam gua, kemudian Syekh Abdul Muhyi mulailah menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama Kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra dia adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim. Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syekh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah Safarwadi. Di sini dia membangun masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya. Dalam menyebarkan agama Islam Syekh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu dia melihat seseorang yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya?" Orang itu memperbolehkannya. Syekh Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdoa, "Bismillaah hirrohmaa nir roohiim, Asyhadu Allaa Ilaaha Illallaah, Wa Asy Hadu Anna Muhammaddur Rasulullah,". Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan yang didapat sangat banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan dan bertanya, "Apa doa yang dibaca untuk memancing?. Dia menjawab, "Basmalah dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut tertarik dengan doa itu dan masuk Islam. Dalam kitab Istigal Tareqat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah diceritakan beberapa kisah karomah Syekh Abdul Muhyi. Diantaranya adalah sebagai berikut Pertama, suatu hari ada orang yang dikejar-kejar sekawanan lebah, lari meminta pertolongan Syekh Abdul Muhyi. Kemudian Syekh Abdul Muhyi berseru kepada kelompok lebah itu, “Kenapa kalian lebah bersikap begitu kepada manusia. Apakah kalian tak mengerti di dalam tubuh manusia lahir dan batin ada lathoif laa ilaha illa Allah !” Lebah-lebah itu langsung mati. Lalu tubuh orang itu seperti keluar asap. Dia selamat tanpa bekas luka apapun. Kedua, saat seseorang membawa istrinya yang buta setelah melahirkan menemui Syekh Abdul Muhyi untuk minta kesembuhan. Oleh Syekh Abdul Muhyi mereka diajak dzikir, membaca kalimat tahlil laa ilaha illa Alloh sebanyak 165 kali di masjid. Tak berapa lama wanita yang buta itu pun sembuh. Ketiga, di waktu yang lain seseorang membawa anak yang terkena stroke, tubuhnya mati separuh untuk menemui Syekh Abdul Muhyi. Kemudian diajak oleh Syekh Abdul Muhyi berzikir kalimat tahlil sebanyak 165 kali. Akhirnya setelah itu anak yang stroke tadi sembuh total. Keempat, ketika ada orang yang tidak bisa tidur selama 11 hari dan minta tolong kepada Syekh Abdul Muhyi. Orang itu juga diajak berzikir sebanyak 165 kali dan lagi-lagi orang tadi akhirnya bisa tidur. Kelima, Syekh Abdul Muhyi juga menolong orang lewat karomahnya untuk memperbanyak hasil panen dan ternak kerbau. Keenam, Syekh Abdul Muhyi juga dikenal kesaktiannya. Beliau mengalahkan dua tukang sihir sakti, dan kemudian dua penyihir itu menjadi murid-muridnya Disamping ahli dalam llmu agama Syekh Abdul Muhyi juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu pertanian dan juga ahli seni baca Alquran. Maka pada saat itu banyak para wali yang datang ke Pamijahan untuk berdialog masalah agama seperti waliyullah dari Banten Syekh Maulana Mansyur, putra Sultan Abdul Patah Ageng Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunungjati juga Syekh Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk, Limbangan- Garut. Makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan, Tasikmalaya saat ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin karena dikeramatkan. Abdul Muhyi melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi dan Lebaksiuh. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia bermukim di dalam goa, yang sekarang dikenal sebagai Goa Safarwadi, dengan maksud untuk mendalami ilmu agama dan mendidik para santrinya. Keberadaan Goa Safarwadi ini erat kaitannya dengan kisah perjalan Syech Abdul Muhyi. Dikisahkan, pada suatu saat ia mendapat perintah dari gurunya yakni Syekh Abdul Rauf Singkel dari Kuala Aceh, untuk mengembangkan agama Islam di Jawa Barat bagian selatan sekaligus mencari tempat yang disebutkan dalam ilham dengan sebuah gua khusus sebagai tandanya. Setelah melalui perjalanan yang sangat panjang dan berat, pada suatu hari ketika sedang asyik bertafakkur, memuji kebesaran Allah, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba menoleh ke arah tanaman padinya, yang didapati telah menguning dan sudah sampai masanya untuk dipanen. Konon, setelah dipanen, hasil yang diperoleh ternyata tidak kurang juga tidak lebih atau hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Mengetahui hal ini ia menjadi sangat terkejut sekaligus gembira, karena itu adalah pertanda bahwa perjuangannya mencari gua sudah dekat. Upaya pertama untuk memastikan adanya gua yang dicari dan ternyata berhasil ini, dilanjutkan dengan cara menanam padi kembali di lahan sekitar tempat tersebut. Sambil terus berdoa kepada Allah SWT upaya ini pada akhirnya juga mendapatkan hasil. Padi yang ditanam, berbuah dan menguning, lalu dipetik hasilnya, ternyata menuai hasil sama sebagaimana yang terjadi pada peristiwa pertama. Hal ini semakin menambah keyakinan Syech Abdul Muhyi bahwa di tempat itulah di dalam gunung terdapat gua yang dicarinya. Suatu hari ketika sedang berjalan ke sebelah timur gunung tersebut, sambil bermunajat kepada Allah SWT, Syech Abdul Muhyi tiba-tiba mendengar suara air terjun dan kicauan burung-burung kecil dari tempat tersebut. Ia kemudian melangkah turun ke tempat di mana suara itu berada, dan di sana ia melihat sebuah lubang besar yang ternyata sesuai dengan sifat-sifat gua yang cirri-cirinya telah ditunjukkan oleh gurunya. Seketika itu juga terangkatlah kedua tangan Syekh Abdul Muhyi, menengadah ke atas sambil mengucap doa sebagai tanda syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan pertolongan pada dirinya dalam upaya menemukan gua yang dicari. Peristiwa penemuan gua ini terjadi pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun 1111 H/1690 M, setelah perjuangan berat dalam mencarinya selama kurang lebih 12 tahun. Usia Syech Abdul Muhyi sendiri pada waktu itu adalah genap 40 tahun. Dan gua tersebut pada nantinya akan dikenal dengan nama Gua Pamijahan. Gua Pamijahan terletak di sebuah kaki bukit yang sekarang dikenal dengan sebutan Gunung Mujarod . Nama ini diambil dari kata bahasa Arab yang berarti “tempat penenangan” atau dalam bahasa Sunda disebut sebagai; tempat “nyirnakeun manah”, karena Syech Abdul Muhyi sering melakukan taqarrub mendekatkan diri kepada Allah di dalam gua tersebut. Gua Pamijahan ini pada dasarnya memiliki makna khusus dalam perjalanan dakwah dan spiritual Syech Abdul Muhyi. Penemuan dan keberadaan gua ini seolah menjadi simbol yang menandakan bahwa perjalanan spiritual Syech Abdul Muhyi telah mengalami puncaknya. Selain itu, selalu terdapat makna dan fungsi khusus dalam setiap hal yang terhubung secara istimewa dengan tokoh yang menjalaninya. Hal ini bisa dipahami karena seperti yang diungkapkan oleh Martin Van Bruinessen, bahwa para tokoh sejarah Islam di nusantara khususnya, biasa melakukan pendekatan supranatural dalam rangka meningkatkan kharisma mereka. Gua besar di Pamijahan Tasikmalaya Selatan sebagai tempat Syech Abdul Muhyi melakukan riyadhah spiritual’, dan salah satu pusat penyebaran tarekat Syathariyah di Pulau Jawa adalah contoh dari hal tersebut. Para juru kunci di tempat ini bahkan menunjukkan sebuah lorong sempit yang konon dilalui oleh Syech Abdul Muhyi untuk pergi ke Makkah setiap Jum’at. Sementara itu di Cibulakan Pandeglang-Banten misalnya, juga terdapat sebuah sumur yang konon berhubungan dengan sumber air zam-zam di Makkah. Menurut riwayat, Maulana Mansyur, yang diyakini sebagai wali, yang dimakamkan di Cikaduwen, pulang dari Makkah melalui sumber mata air zam-zam dan muncul di sumur ini. Ringkasnya, hingga saat ini masih ada “kyai” di Jawa, yang menurut para pengikutnya yang paling fanatik, setiap Jum’at secara gaib pergi sembahyang di Masjidil Haram. Semua ini juga menandaskan perihal lain, yakni kuatnya peranan haji dan Makkah serta hubungannya dengan tradisi spiritual sebagai legitimasi kekuasaan atau keilmuan seseorang, dalam pandangan orang Jawa. Di lingkungan kekeramatan Pamijahan sendiri terdapat beberapa kisah yang mengandung pengertian di atas. Satu kisah yang sering beredar menyebutkan bahwa, konon Syech Abdul Muhyi bersama Maulana Mansyur dan Ja’far Shadiq sering shalat di Makkah bersama-sama lewat Gua Pamijahan. Ketiga orang itu memang dikenal mempunyai ikatan persahabatan yang sangat erat. Kisah supranatural lain di lingkungan kekeramatan Pamijahan adalah kisah yang menjadi muasal diharamkannya merokok di lingkungan tersebut. Menurut kepercayaan masyarakat, pada suatu hari Syech Abdul Muhyi dan Maulana Mansyur berada di Makkah hendak pulang ke tanah Jawa, keduanya kemudian berunding tentang pemberangkatan bahwa siapa yang sampai lebih dulu di Jawa, hendaklah menunggu salah seorang yang lain di tempat yang telah ditentukan. Lalu berangkatlah kedua sahabat tersebut dengan cara masing-masing, yakni; Syeikh Maulana Mansyur berjalan di atas bumi sedangkan Syech Abdul Muhyi di bawah bumi, keduanya sama-sama menggunakan kesaktiannya. Namun, ketika Syech Abdul Muhyi sedang berada dalam perjalanan di bawah laut, tiba-tiba ia merasa kedinginan, lalu berhenti sebentar. Sewaktu hendak menyalakan api dengan maksud untuk merokok, tanpa disangka muncul kabut yang membuat sekelilingnya jadi gelap. ia terpaksa berdiam diri menunggu kabut tersebut menipis sambil merokok. Namun kabut itu ternyata semakin menebal. Akhirnya ia teringat bahwa merokok itu perbuatan yang makruh dibenci Allah. Maka seketika itu juga ia merasa berdosa dan segera bertaubat kepada Allah SWT. Bersamaan dengan itu kabut pun menghilang, dan akhirnya ia bisa berangkat lagi meneruskan perjalanannya. Mulai saat itulah Syech Abdul Muhyi menjauhkan diri dari merokok, bahkan bisa dikatakan mengharamkan rokok untuk dirinya. Sedang kepada keluarga dan pengikutnya, ia hanya melarang mereka merokok sewaktu di dekat dirinya. Oleh karena itu, di daerah Pamijahan ada tempat tertentu yang dilarang secara adat untuk merokok, khususnya tempat yang berada di sekitar makam Syech Abdul Muhyi. Adapun batas-batas wilayah larangan merokok antara lain sebelah timur daerah Kaca-Kaca, sebelah barat jalan yang menuju ke gua dimulai dari masjid Wakaf, sebelah selatan dimulai dari makam Dalem Yudanagara + 300 m dari makam Syech, sedang sebelah utara ±300 m dari makam Syech, yaitu jalan umum yang menuju ke Makam Eyang Abdul Qohar di Pandawa. Singkat kata, wilayah-wilayah dengan batasan yang telah ditentukan tersebut adalah daerah larangan merokok menurut adat yang berlaku. Kisah-kisah semacam ini tidak akan dibahas lebih jauh. Yang perlu direnungi adalah hikmah yang berada di baliknya. Sebab, setiap cerita yang ada pada dasarnya menunjukkan keluasan ilmu, keluhuran pribadi dan kemuliaan pengabdian Syech Abdul Muhyi kepada masyarakat dalam perjuangannya mengajarkan prinsip-prinsip Islam dan menjauhkan mereka dari bentuk-bentuk kepercayaan yang sesat. Pamijahan sendiri pada dasarnya adalah nama sebuah kampung yang letaknya di pinggir kali, sehingga ia merupakan tempat yang menguntungkan karena masyarakat sekitar dapat mengolahnya untuk mengembang-biakkan ikan, akan tetapi kondisi ini juga bisa sebaliknya, yakni kadang-kadang membawa bencana, seperti banjir yang melanda daerah tersebut beberapa waktu yang lalu. Peristiwa ini membuat banyak rumah yang hanyut karena tidak kuat menahan banjir. Oleh karena itu pula, bangunan-bangunan yang sekarang masih ada dan terletak di tepi sungai harus dibuat permanen. Pamijahan termasuk ibu kota Desa di Wilayah Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Sebelum Syech datang ke Pamijahan, sudah ada kampung yakni daerah Bojong, wilayah Sukapura, terletak di sebelah Timur Laut dari kampung Pamijahan sekarang, yang kini dikenal dengan nama Kampung Bengkok. Di sana terdapat makam Dalem Sacaparana, mertuanya Syech Abdul Muhyi. Adapun kata “Pamijahan” adalah nama baru, di masa hidup Syech Abdul Muhyi sendiri nama tersebut belum dikenal. Wilayah ini disebut oleh Syech Abdul Muhyi dengan istilah Safar Wadi. Nama ini diambil dari kata Bahasa Arab, yakni safar yang berarti “jalan” dan wadi yang berarti “lembah”. Jadi, Safar Wadi adalah jalan yang berada di lembah. Hal ini disesuaikan dengan letaknya yang berada di antara dua bukit di pinggir kali. Namun sekarang Safar Wadi dikenal juga dengan nama Pamijahan, karena banyak orang yang berdatangan dari pelosok Pulau Jawa secara berduyun-duyun, laksana ikan yang akan bertelur mijah. Karena itu nama Safar Wadi kemudian berganti menjadi Pamijahan, sebab mempunyai arti yang hampir mirip dengan tempat ikan akan bertelur, dan bukan berarti tempat “pemujaan”. Goa Safarwadi merupakan salah satu tujuan utama peziarah yang berkunjung ke Pamijahan. Panjang lorong goa sekitar 284 meter dan lebar 24,5 meter. Peziarah bisa menyusuri goa dalam waktu dua jam. Salah satu bagian goa yang paling sering dikunjungi adalah hamparan cadas berukuran sekitar 12 meter x 8 meter yang disebut sebagai Lapangan Baitullah. Tempat itu dulu sering dipakai shalat oleh Syech Abdul Muhyi bersama para santrinya. Di samping lapangan cadas itu terdapat sumber air Cikahuripan yang keluar dari sela-sela dinding batu cadas. Mata air itu terus mengalir sepanjang tahun. Oleh masyarakat sekitar, air itu dipopulerkan sebagai air “zam-zam Pamijahan.” Air ini dipercaya memiliki berbagai khasiat. Menjelang Ramadhan, para peziarah di Pamijahan tak lupa membawa botol air dalam kemasan, bahkan jerigen, untuk menampung air “zam-zam Pamijahan” itu. Dengan minum air itu, badan diyakini tetap sehat selama menjalankan ibadah puasa. Syech Muhyi ini disebut juga oleh bangsa wali lainnya dengan gelar A’dzomut Darojat, yang artinya “orang yang mempunyai derajat agung.” Bercerita tentang derajat kewaliyan, tentu kita hanya paham atau mengerti secara sepintas, bahwa yang disebut derajat seperti ini hanya ada di zaman Wali Songo. Sebenarnya pemahaman seperti ini tidak benar, karena derajat Waliyulloh akan terus mengalir hingga sampai pada akhir zaman sebagai sunnaturrosul. Syech Abdul Muhyi dalam sejarah hidupnya adalah seorang yang zuhud, pintar, sakti dan terkenal paling berani dalam memerangi musuh Islam. Namun semua itu adalah masa lalu dan kini hanya tinggal kenangan belaka. Hanya saja walau ia sudah ratusan tahun telah tiada, namun rohmat serta kekeramatannya masih banyak diburu, terutama oleh para peziarah yang minta berkah lewat wasilahnya. Air Cikahuripan Masih berlanjut kisah menyusuri Goa Safarwadi Pamijahan, Setelah turun dari tempat dzikir Syekh Abdul Muhyi dan melewati tetesan zam-zam, kita menyusuri jalan yang agak panjang lagi dan di selingi air sungai. Sekitar 300 meter. lalu bertemu dengan kolam air cikahuripan. Lokasi Air Cikahuripan Disana sudah stand by 2 orang yang siap mengemas air untuk dimasukkan kedalam botol atau jirigen kosong yang kita bawa. Dia akan minta 10rb untuk botol dan 20rb untuk jerigen. Kalau tidak bawa botol/jerigen tidak usah khawatir. Kita bisa bayar 10rb dan langsung diberi botol air mineral besar ukuran liter. Tapi jangan dulu ambil air, berat! Biar disimpan saja karena perjalanan masih harus berlanjut, kita akan diajak guide yang membawa patromaks itu menuju masjid agung/masjid jami’. Masjid Jami’ Syekh Safar Wadi Dia akan menjelaskan bahwa tempat itu adalah mesjid jami’ yang biasa dipakai shalat jum’at syekh abdul muhyi bersama para santrinya. ilustrasi peta goa safarwadi Disana pun ada struktur yang menyerupai mimbar, disanalah biasanya syekh abdul muhyi berkhutbah. Seorang jama’ah lantas naik ke atas mimbar lalu adzan disana. Jama’ah Adzan di mimbar masjid Agung Goa Terusan ke Mekah Selesai adzan dan berdo’a disana, guide mengajak kami memasuki bagian goa yang akan tembus ke mekah. Bagian goa tersebut memang sangat kecil, diameternya mungkin hanya 80 cm saja. Di krangkeng dengan tralis besi. DIsana jama’ah kembali berdo’a lalu oleh sang guide kita dipersilahkan untuk mengusap mulut goa, sambil berdo’a keinginan kita 🙂 Mungkin supaya mirip sikap kita terhadap hajar aswad begitu ya? karena kan tembus ke mekah. Tak lupa, kita diarahkan untuk masuk dari sisi kanan goa, lau keluar dari sisi kiri agar rapih, dan disana sudah tersedia papan kardus dengan uang 10-20rb milik sang guide. Silahkan sedekah 🙂 Goa Terusan ke Surabaya & Cirebon Perjalanan menyusuri gua belum selesai, kita akan diajak menyusuri terusan goa yang diinformasikan menembus ke surabaya ke kediaman Sunan Ampel dan ke Cirebon tempat kediaman Sunan Gunung Jati. Disana pun jama’ah berdo’a. Peta gua bersumber dari Internet Majlis Ta’lim Kaum Akhwat & Peci Haji Lalu kita akan diajak untuk mengunjungi Majlis ta’lim tempat para kaum akhwat mengaji dan dilanjutkan ke tempat fenomenal peci haji, dimana para penziarah dipersilahkan untuk mencoba satu-satu lubang peci yang berjumlah 9 lubang disana, dan terus berdo’a mudah-mudahan Allah SWT memberi rejeki untuk naik haji ke tanah suci. Aamiin. Struktur goa bagian Peci Haji Jama’ah antri mencoba Peci haji Apa hukum Ngalap Berkah ? Apakah cara beribadah dengan cara mengusap goa ke mekah sambil “ngalap barokah” dan mencoba “peci haji” sambil berdo’a ada dalilnya? Dan apa hukumnya? Mengutip dari ceramah Ustadz Abdul Somad disini Definisi Barokah Beliau berkata bahwa tabarruk diambil dari kata barokah yang berarti lebih dari semestinya. Analogi sederhanananya misalnya bangunan di prediksi bertahan 10 tahun oleh insinyur ternyata karena dirawat dengan baik bisa bertahan hingga 15 tahun, maka yang 5 tahun adalah barokah. Atau Prediksi Uang cukup sampai tanggal 28 tapi ternyata karena hemat bisa bertahan hingga tanggal 5 bulan berikutnya, itu barokah, atau kata dokter 2 minggu lagi Anda mati, ternyata masih hidup hingga 2 tahun, itu barokah. Lalu bagaimana dengan nyari/ngalap berkah? Kalau hukumnya ngalap berkah dengan benda yang ditinggalkan nabi, ada kisah saat shabat khalid bin walid kehilangan peci, kata para shabat, peci seperti itu banyak yang jual. Kata khalid, disitu ada rambut Nabi! Khalid ibn walid ternyata ngalap barokah dari rambut nabi! Ada juga hadits berikut وحدثنا ابن أبي عمر ، حدثنا سفيان ، سمعت هشام بن حسان ، يخبر عن ابن سيرين ، عن أنس بن مالك ، قال ” لما رمى رسول الله صلى الله عليه وسلم الجمرة ونحر نسكه وحلق ناول الحالق شقه الأيمن فحلقه ، ثم دعا أبا طلحة الأنصاري فأعطاه إياه ، ثم ناوله الشق الأيسر ” ، فقال ” احلق فحلقه ، فأعطاه أبا طلحة ” ، فقال ” اقسمه بين الناس ” * Artinya Berkata Imam Muslim ; Menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, menceritakan kepada kami Sofyan, Aku mendengar dari Hisyam bin Hassan, di ceritakan dari Ibnu Sirin, dari Anas bin Malik, beliau berkata ” Manakala Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam telah melaksanakan lemparan jumrah, dan menyembelih korbannya, dan mencukur rambutnya, Si pencukur memulai dengan mencukur bahagian rambut Rasul yang sebelah kanan, kemudian Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam memanggil Abu Tholhah al-Ansori, dan Rasululllah Salallahu Alaihi Wasallam beri rambut itu kepadanya, kemudian si pencukur memegang bahagian yang kiri, Rasul berkata ” Cukurlah ” maka si pencukur pun mencukur Rambutnya Rasul yang bahagian kiri, Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam memberikan rambut itu kepada Tolhah, kemudian beliau berkata ” Bagi-bagikanlah kepada orang-orang . Hadis ini di keluarkan juga oleh Bukhari dengan lafaz yang sedikit berbeda, di keluarkan juga oleh Abu Daud , Tirmidzi, Shohih Ibnu Hibban, Mustadrak Imam Hakim, Musnad Imam Ahmad. Berkata Imam Nawawi didalam mejelaskan hadis ini ” Sebahagian dari pengajaran yang diambil dari hadis ini adalah bertabarruk dengan rambut Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam dan boleh menyimpannya untuk bertabarruk Syarah Sohih Muslim 62 / 5, Dar Hadis . Berkata Muhammad Syamsul Haq al-Azhim Abadi ” Berkata Syaukani ” Pada hadis ini menyatakan di syari`atkannya bertabarruk dengan rambut orang-orang yang mulia dan seumpamanya. Aunul Ma`bud Syarah Sunan Abu Daud 94 / 4 Berkata Imam Mubarakfuri “Hadis ini menunjukkan disyari`atkannya bertabaruk dengan rambut orang-orang yang mulia dan seumpamanya ” Tuhfatu al-Ahwadzi Bi Syarhi Jami at-Tirmidzi 347 / 3 , Dar Hadis . Gimana kalau rambut ustadz? Disitu lah ada perbedaan pendapat ulama dalam kitab Mafahim yajibu antushohah pemahaman yang harus di benarkan Karya Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki dijelaskan mengenai orang yang ngusap-ngusap. Mana dalilnya? Syekh muhammad sayyid almaliki membolehkan orang mengusap mimbar bekas mimbar nabi. Tapi ulama ikhtilaf tentang tabarruk kepada ulama. Misalnya dengan bekas air minum ulama. Para ulama memakai hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ “Ulama adalah pewaris para nabi.” HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu anhu, Dulu sahabat minta tahnik kepada Rasulullah SAW, tapi ko sekarang ke ulama? lah ulama ini kan ada nikotinnya. Kata yang setuju, ini kan kaya zam zam. Ustadz Abdul Somad mengakhiri jawabannya dengan “Jadi fahami lah yang saya jelaskan. Wallahu a’lam” Dalam penjelasan lainnya, Syekh Abdul Somad menjelaskan “Muliakan ulama kita, memuliakan ulama bukan sekedar meminum bekas minumnya, tabarukan, ngalap barokah, walaupun itu nggak salah karena ada dalilnya. Tapi lebih dari itu, adalah mengambil silsilah ilmunya,” kata ustadz asal Riau ini saat mengisi tabligh akbar di Masjid Baitul Hakim, Cipinang, Jakarta Timur, Sabtu 04/11/2017. Ustadz Shomad pun sempat bercerita tentang Syeikh Yusuf Al-Qaradawi yang datang ke Kairo. Saat itu, lanjutnya, beliau tidak bisa tinggal di Mesir karena berlawanan politik dengan Husni Mubarak – Presiden Mesir saat itu. “Ketika Abdul Shomad kuliah di Mesir pada tahun 1998 sampai 2002, Syeikh itu datang ceramah di masjid-masjid, namun tidak diperbolehkan membicarakan tentang politik,” lanjutnya menuturkan pengalaman diri. “Saya penasaran dengan yang namanya Syeikh Qaradawi, saya lihat dia pun duduk ceramah, habis ceramah, dia duduk minum, sehabis minum, berebut mahasiswa meminum bekas minumnya. Dan saya lihat itu mahasiswa yang berebut itu mahasiswa Indonesia,” katanya disambut tawa para jamaah yang hadir. Kembali ditegaskan olehnya, yang tidak kalah penting adalah mengambil silsilah keilmuan dari para ulama dan membaca buku-bukunya. “Memahami metodologi ijtihadnya, yang terpenting adalah pola pikirnya, ini penting memuliakan ulama kita,” ungkapnya. Ia lantas menyebut nama ketua MUI pertama, Buya Hamka yang belum ada penggantinya meski sudah lama meninggal. KH Ahmad Dahlan pun sudah lama meninggal namun sampai saat ini belum tergantikan, “KH Zainuddin MZ, kita belum melihat gantinya, tapi kalau direktur perusahaan, anggota DPR, belum meninggal pun, penggantinya sudah ada,” tutupnya yang membuat para jamaah tertawa.

dzikir syekh abdul muhyi pamijahan